Dalam
Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada terdapat kata “gurun” yang hingga saat
ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat indonesia adalah sebagai
nama lain dari Nusa Penida yang ada di Pulau Bali, tapi apakah sudah
benar bahwa apa yang dimaksudkan dengan kata "gurun" adalah Nusa penida? Ataukah "gurun" yang dimaksudkan adalah "goran" atau "gorom" (pulau gorom) yang ada di ujung timur pulau seram, maluku?
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.
Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan
Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa
Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut:
“Sira
Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada:
Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seran, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
artinya:
Beliau,
Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa,
Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram,
Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa. (Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, id.wikipedia.org)
Jika
dilihat dari susunan kata yang ada dalam sumpah tersebut di atas, kata
“gurun” ditulis bersebelahan dan sebelum kata “seran” artinya bahwa dua
kata tersebut menandakan dua nama yang saling berurutan atau bisa juga
berarti menunjuk pada dua daerah yang saling berdekatan. Kalau kata
“gurun” adalah Nusa Penida, kenapa tidak ditulis berdekatan dengan kata
“Bali”? Padahal kita tahu bahwa Nusa Penida ada/terletak di Pulau Bali.
Sedangkan yang ditulis berdekatan dengan kata “Bali” sendiri adalah kata
“Dompu”, artinya bahwa Dompu yang terletak di nusa Tenggara Barat
(Sumbawa) memang berdekatan dengan Pulau Bali. Contohnya seperti “Bangka
dan Belitung”, orang lebih mudah dan terbiasa dengan memanggil “Bangka
Belitung” daripada “Belitung Bangka”, maka dari contoh ini kita dapat
katakan bahwa walaupun kata “gurun” dan “seran” itu tidak ditulis jadi
satu rangkaian kata namun kata “gurun” dan “seran” tidak bisa juga
ditulis terpisah/berjauhan ini menandakan dua nama yang tidak bisa
dipisahkan yang mengandung arti kedua daerah tersebut saling berdekatan.
Sehingga dalam sumpah palapa ditulis : “ring gurun, ring seran”. Sama halnya dengan Dompu dan Bali ditulis berdekatan : Dompu, ring Bali,.
Hal ini dapat juga kita ketahui dari kebiasaan masyarakat di daerah
tersebut yaitu goran (pulau gorom), kata “gurun dan seran” atau goran
dan seran (pulau gorom dan pulau seram) hingga saat ini orang sering
memanggil kedua nama daerah tersebut dengan sebutan “goran seran”, dan
biasanya tidak dipanggil terbalik “seran goran”. Jadi sangat mustahil
jika dikatakan “gurun” adalah nusa penida yang ada di Bali.
Jika “gurun” adalah pulau gorom dan kita hubungkan dengan sejarah Sumpah Palapa tersebut maka kita akan bertanya-tanya apa
yang membuat daerah tersebut begitu terkenal sampai seorang Patih
Gadjah Mada yang gagah perkasa bersikukuh untuk memasukkan "gurun" dalam
daftar daerah yang harus ditaklukkan? apakah karena daerah tersebut
memiliki kekayaan alam yang berlimpah? ataukah memiliki kekuatan lain
yang sulit ditaklukkan sehingga membuat seorang Patih/panglima perang dari kerajaan Majapahit yang begitu terkenal untuk harus menaklukkannya?
Sumber : foto sam
Maluku
yang dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah sejak zaman
penjajahan hampir seluruh wilayahnya merupakan ladang subur tumbuhnya
rempah-rempah sehingga mau tidak mau masyarakatnya harus terlibat
langsung dalam perdagangan kala itu, tak terkecuali pulau gorom.
Gurun/Goran
(Pulau Gorom) yang merupakan salah satu pulau yang terletak di wilayah
seram bagian timur maluku merupakan gugusan pulau-pulau yang menyebar
mulai dari ujung timur pulau seram hingga ke maluku tenggara (Kei).
Tanahnya yang subur dengan iklim tropis yang basah berdampak pada
kesejahteraan penduduknya sehingga bila dibandingkan dengan daerah lain
di sekitarnya jumlah penduduk di daerah ini dari tahun ke tahun
meningkat drastic. Ini diakibatkan oleh adanya tingkat perekenomian
masyarakat yang semakin baik karena ditunjang oleh kekayaan alam yang
berlimpah. Begitu pula letaknya yang strategis tepat di ujung timur
pulau seram dan posisinya yang berdekatan dengan Fak-fak (daerah
penghasil pala terbesar di Papua) menjadikannya sebagai tempat
persinggahan dan lalu lintas perdagangan dari dan ke pulau-pulau lain di
sekitarnya bahkan yang menuju papua. Sebagai
daerah penghasil cengkeh, pala dan kopra serta hasil laut, sudah
barang tentu ikut dilirik oleh para saudagar-saudagar dari jawa maupun
dari luar pada waktu itu sehingga pulau gorom ikut menjadi bagian
penting dalam jalur perdagangan di maluku.
Pusat-pusat
niaga di Maluku merupakan salah satu jaringan perdagangan inter
regional yang menghubungkan dengan wilayah pelabuhan lainnya di wilayah
Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Sumatra, Kalimantan dan Papua bahkan ke
bagian Tenggara Asia (Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi
rempah-rempah terutama cengkeh dan pala pada masanya menjadi tujuan
utama pedagang-pedagang Arab dan Cina).
Sejak
berabad-abad yang lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga
rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh negara dari berbagai belahan
dunia berjejal menduduki kepulauan Maluku. Hal ini kemudian semakin
ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portugis, Belanda juga Spanyol
turut meramaikan perdagangan di Maluku.
Wilayah
Kepulauan Maluku, sejak masa prasejarah ribuan tahun lalu, telah
menjadi wilayah strategis dengan sumberdaya alamnya telah menciptakan
tatanan global, dimana hubungan kultural diantara berbagai bangsa
bertemu. Melalui perantara pelayaran dan perdagangan international,
dapat dikatakan Maluku telah menancapkan dasar-dasar relasi
kultural,menciptakan tatanan baru peradaban manusia yang berdimensi,
sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan religi. Patutlah dicatat, Maluku
sebagai wilayah Nusantara yang menghubungkan dunia Indonesia dengan
dunia luar. Maluku adalah jembatan globalisasi sejak ribuan tahun lalu.
Akar-akar budaya globalisasi, sesungguhnya telah tertanam di bumi
Maluku, sejak masa prasejarah.
Ditemukannya
nekara di Pulau Gorom, menegaskan bahwa wilayah ini telah membangun
kontak budaya dengan masyarakat luar jauh sebelum abad masehi. Bukti
lainnya adalah ditemukannya beberapa data manik-manik yang pada masa
lampau juga merupakan barang yang diperdagangkan antar negara.
Manik-manik merupakan produk budaya masa prasejarah, utamanya sejak masa bercocok tanam dan masa perundagian yang selevel dengan masa megalitik. (Balai Arkeologi Maluku, Perairan Maluku dalam Jalur Pelayaran dan jaringan Perdagangan Internasional Masa lampau dan Kini, Arkeomaluku.Com, 07 Mei 2010)
(sumber : Foto Sam)
Sehingga
boleh dikatakan pulau Gorom pada masa itu sudah mempunyai suatu
peradaban yang maju dan sudah memiliki hubungan perdagangan dengan
daerah luar seperti pulau Jawa bahkan dengan saudagar-saudagar Arab dan China.
Sejak
dahulu masyarakat pulau Gorom merupakan penganut agama Islam yang taat.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka
pulau Gorom memiliki status dan peran yang penting bagi wilayah-wilayah
sekitarnya. Kuatnya relasi antara masyarakat dengan ajaran Islam yang
dianutnya maka sangatlah sulit untuk ditaklukkan oleh
pendatang-pendatang yang membawa simbol/ajaran agama yang lain (agama
penjajah) maka dari dulu hingga sekarang daerah ini merupakan daerah dengan penduduk mayoritas islam.
Perpaduan
antara ajaran agama dan adat istiadat yang begitu melekat mempengaruhi
ciri dan karakter masyarakat setempat sehingga masyarakat di daerah ini
dikenal masih kuat memegang rinsip-prinsip agama dan adat istiadat
hingga saat ini. Ini terlihat dari kebiasaan sehari-hari yang selalu
menghormati rajanya dan semua titah raja merupakan hukum yang harus
ditaati oleh rakyatnya. Di pulau Gorom khususnya Kataloka bagi rakyatnya,
kehormatan seorang raja merupakan harga diri dan sebuah harga mati yang
sulit ditukar dengan apapun sehingga jika terjadi masalah yang
menyangkut adat dan kehormatan raja rakyat selalu berada di garis depan
dan akan membelanya sampai mati.
Dalam hubungan sosial budaya pada zaman dahulu Gorom pun memegang peranan yang sangat penting setidaknya kita dapat mengetahuinya dari literature sejarah kerajaan Tanah Hitu. Dalam kisah kerajaan Tanah Hitu yang ditulis oleh imam Ridjali (tahun 1646) bahwa salah satu pendiri kerajaan (perdana) berasal dari Pulau Gorom bernama Kie Patti.
Sebagai
Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur)
tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Salat)
sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai
corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat). Mendirikan
negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu
marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau
pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang
akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu. (Wikipedia Indonesia, Kerajaan Tanah Hitu, wikipedia.org).
Kehadiran salah satu Tokoh/pemuka agama dari Pulau Gorom yang datang/ tiba di Tanah Hitu yang kemudian beliau diterima bahkan diangkat menjadi salah satu pemimpin atau pendiri kerajaan Tanah Hitu, ini menandakan bahwa pulau Gorom/penduduk pulau Gorom sudah memeluk agama islam jauh sebelum adanya kerajaan Tanah Hitu, bahkan mungkin juga sebelum adanya kerajaan-kerajaan besar lainnya di Maluku.
Eksistensi keberadaan gurun/goran (pulau Gorom) berlanjut hingga kesultanan tidore yaitu Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan alias Jou Barakati (1797 – 1805). Pada masa ini pun Pulau Gorom yang merupakan kerajaan islam (Raja Kataloka) berada di bawah kekuasaan kesultanan Tidore.
Pada waktu Sultan Nuku berlayar mengunjungi pulau-pulau yang berada di
dalam kekuasaannya, beliau memang pernah singgah di pulau Gorom dan
menurut cerita beliau juga turut membantu masyarakat setempat bertempur
melawan penjajah yang akhirnya dikenal dengan perang "Gesa Wowo". Ditempat ini juga terdapat salah satu pulau yang diberi nama nukus alias
nuku oleh Sultan Nuku sendiri. Karena nama lain sultan Nuku adalah Jou
Barakati maka sebutan “Jou” ini menjadi kebiasaan masyarakat setempat
hingga saat ini sehingga masyarakat Gorom pun sama halnya dengan
kerajaan Raja Ampat Di Papua mereka juga memanggil raja dengan sebutan
"JOU". Ini menjadi salah satu bukti pengaruh kesultanan Tidore di daerah
seram timur khususnya di pulau Gorom dan sekitarnya.
Kesultanan
Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku alias
Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil
Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati.
Pada masa kekuasaannya 1797 – 1805), wilayah Kerajaan Tidore mencakup
kawasan yang cukup luas hingga mencapai Tanah Papua.Wilayah sekitar
pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan
pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Menurut beberapa tulisan
di berbagai situs internet, dituliskan bahwa kekuasaan Tidore sampai ke
beberapa kepulauan di pasifik selatan, diantaranya; Mikronesia,
Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal,
Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula
bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan
identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan
Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku
Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono. (Anto Latif DOA, Menelusuri Jejak Sejarah Kekuasaan Kesultanan Tidore di Halmahera Selatan Dan Tanah Papua, Republika.Co.Id, 15 Desember 2008)
Ada beberapa bukti mengenai kehadiran Islam dan pengaruh jawa terhadap kehidupan sehari-hari yang dapat kita lihat hingga saat ini yaitu dengan adanya nama atau bahasa yang sama dengan bahasa Jawa yaitu "watu" yang berarti batu, "muli/muleh yang artinya pulang, "manu’ ” (burung),ubung/obong (asap api), tolu/telu (tiga), hitu/pitu (tujuh), alu/wolu
(delapan). Begitu juga ditemukannya beberapa peninggalan kuno seperti
Nekara, guci dan keris yang dibawa oleh para saudagar Jawa atau Cina
pada waktu itu dan juga ada masjid tua yang terdapat di tengah hutan yang menurut masyarakat setempat dipercaya sebagai masjid tertua atau pertama di pulau Gorom yaitu masjid Abes (Abas) dan masjid Giri Gadjah yang mungkin juga berhubungan dengan Patih Gadjah Mada.
Wilayah Majapahit yang hampir seluruhnya meliputi wilayah nusantara ini sangatlah dimungkinkan telah terjadi hubungan perdagangan antara masyarakat setempat dengan saudagar-saudagar dari pulau jawa atau kerajaan-kekerajaan besar di pulau jawa termasuk Majapahit. Dikatakan Patih Gadjah Mada Wafat pada tahun 1286 Saka/1364 M namun kerajaan Majapahit sendiri sudah
ada antara tahun 1293-1527 yaitu pada masa perintahan Ratu
Tribhuwanatunggadewi yang kemudian diganti oleh Prabu Hayam Wuruk
(1350-1389).
Walaupun tidak ada bukti kuat yang mengatakan adanya hubungan langsung
antara pulau Gorom dengan kerjaan Majapahit namun dari peranannya dalam
dunia politik (kerajaan Tanah Hitu) pada masa itu serta
hubungan-hubungan perdagangan dengan daerah-daerah lain di nusantara
serta saudagar China dan arab yang dibuktikan dengan ditemukan adanya
benda-benda purbakala yang mengindikasikan bahwa pengaruh-pengaruh
sosial politik dan budaya serta perdagangan pada waktu itu sangat
memegang peranan penting. Daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi
turut mengganggu jalannya suatu pemerintahan dianggap perlu dan jika
tidak ditaklukkan akan berdampak besar terhadap kestabilan dan jalannya
suatu pemerintahan. Maka dari itu wajarlah jika Seorang patih dari Majapahit ingin sekali menaklukkan daerah tersebut yang akhirnya nama “gurun”/goran (pulau Gorom) dicantumkan dalam sumpahnya. Hanya saja sampai saat ini belum ada seorangpun yang meniliti atau mencari tahu hubungan dan pengaruh antara pulau Gorom dengan dunia Islam dalam sejarah Gadjah Mada (Majapahit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar