Minggu, 20 Juli 2014

APAKAH “GURUN” ADALAH NUSA PENIDA ATAU GORAN (PULAU GOROM)..?

Dalam Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada terdapat kata “gurun” yang hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat indonesia adalah sebagai nama lain dari Nusa Penida yang ada di Pulau Bali, tapi apakah sudah benar bahwa  apa yang dimaksudkan dengan kata "gurun"  adalah Nusa penida? Ataukah "gurun" yang dimaksudkan adalah "goran" atau "gorom" (pulau gorom) yang ada di ujung timur pulau seram, maluku?

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”

artinya:
 
Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa. (Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, id.wikipedia.org)

Jika dilihat dari susunan kata yang ada dalam sumpah tersebut di atas, kata “gurun” ditulis bersebelahan dan sebelum  kata “seran” artinya bahwa dua kata tersebut menandakan dua nama yang saling berurutan atau bisa juga berarti menunjuk pada dua daerah yang saling berdekatan. Kalau kata “gurun” adalah Nusa Penida, kenapa tidak ditulis berdekatan dengan kata “Bali”? Padahal kita tahu bahwa Nusa Penida ada/terletak di Pulau Bali. Sedangkan yang ditulis berdekatan dengan kata “Bali” sendiri adalah kata “Dompu”, artinya bahwa Dompu yang terletak di nusa Tenggara Barat (Sumbawa) memang berdekatan dengan Pulau Bali. Contohnya seperti “Bangka dan Belitung”, orang lebih mudah dan terbiasa dengan memanggil “Bangka Belitung” daripada “Belitung Bangka”, maka dari contoh ini kita dapat katakan bahwa walaupun kata “gurun” dan “seran” itu tidak ditulis jadi satu rangkaian kata namun kata “gurun” dan “seran” tidak bisa juga ditulis terpisah/berjauhan ini menandakan dua nama yang tidak bisa dipisahkan yang mengandung arti kedua daerah tersebut saling berdekatan. Sehingga dalam sumpah palapa ditulis : “ring gurun, ring seran”. Sama halnya dengan Dompu dan Bali ditulis berdekatan : Dompu, ring Bali,.  Hal ini dapat juga kita ketahui dari kebiasaan masyarakat di daerah tersebut yaitu goran (pulau gorom), kata  “gurun dan seran” atau goran dan seran (pulau gorom dan pulau seram) hingga saat ini orang sering memanggil kedua nama daerah tersebut dengan sebutan “goran seran”, dan biasanya tidak dipanggil terbalik “seran goran”. Jadi sangat mustahil jika dikatakan “gurun” adalah nusa penida yang ada di Bali.

Jika “gurun” adalah pulau gorom dan kita hubungkan dengan sejarah Sumpah Palapa tersebut maka kita akan bertanya-tanya apa yang membuat daerah tersebut begitu terkenal sampai seorang Patih Gadjah Mada yang gagah perkasa bersikukuh untuk memasukkan "gurun" dalam daftar daerah yang harus ditaklukkan? apakah karena daerah tersebut memiliki kekayaan alam yang berlimpah? ataukah memiliki kekuatan lain yang sulit ditaklukkan sehingga membuat seorang Patih/panglima perang dari kerajaan Majapahit yang begitu terkenal untuk harus menaklukkannya? 


    Sumber : foto sam

Maluku yang dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah sejak zaman penjajahan hampir seluruh wilayahnya merupakan ladang subur tumbuhnya rempah-rempah sehingga mau tidak mau masyarakatnya harus terlibat langsung dalam perdagangan kala itu, tak terkecuali pulau gorom.
Gurun/Goran (Pulau Gorom) yang merupakan salah satu pulau yang terletak di wilayah seram bagian timur maluku merupakan gugusan pulau-pulau yang menyebar mulai dari ujung timur pulau seram hingga ke maluku tenggara (Kei). Tanahnya yang subur dengan iklim tropis yang basah berdampak pada kesejahteraan penduduknya sehingga bila dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya jumlah penduduk di daerah ini dari tahun ke tahun meningkat drastic. Ini diakibatkan oleh adanya tingkat perekenomian masyarakat yang semakin baik karena ditunjang oleh kekayaan alam yang berlimpah. Begitu pula letaknya yang strategis tepat di ujung timur pulau seram dan posisinya yang berdekatan dengan Fak-fak (daerah penghasil pala terbesar di Papua) menjadikannya sebagai tempat persinggahan dan lalu lintas perdagangan dari dan ke pulau-pulau lain di sekitarnya bahkan yang menuju papua. Sebagai daerah penghasil cengkeh,  pala dan kopra serta hasil laut, sudah barang tentu ikut dilirik oleh para saudagar-saudagar dari jawa maupun dari luar pada waktu itu sehingga pulau gorom ikut menjadi bagian penting dalam jalur perdagangan di maluku. 

Pusat-pusat niaga di Maluku merupakan salah satu jaringan perdagangan inter regional yang menghubungkan dengan wilayah pelabuhan lainnya di wilayah Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Sumatra, Kalimantan dan  Papua bahkan ke bagian Tenggara Asia (Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala pada masanya menjadi tujuan utama pedagang-pedagang Arab dan Cina).
Sejak berabad-abad yang lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh negara dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki kepulauan Maluku. Hal ini kemudian semakin ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portugis, Belanda juga Spanyol turut meramaikan perdagangan di Maluku.
Wilayah Kepulauan Maluku, sejak masa prasejarah ribuan tahun lalu, telah menjadi wilayah strategis dengan sumberdaya alamnya telah menciptakan tatanan global, dimana hubungan kultural diantara berbagai bangsa bertemu. Melalui perantara pelayaran dan perdagangan international, dapat dikatakan Maluku telah menancapkan dasar-dasar relasi kultural,menciptakan tatanan baru peradaban manusia yang berdimensi, sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan religi. Patutlah dicatat, Maluku sebagai wilayah Nusantara yang menghubungkan dunia Indonesia dengan dunia luar. Maluku adalah jembatan globalisasi sejak ribuan tahun lalu. Akar-akar budaya globalisasi, sesungguhnya telah tertanam di bumi Maluku, sejak masa prasejarah.
Ditemukannya nekara di Pulau Gorom, menegaskan bahwa wilayah ini telah membangun kontak budaya dengan masyarakat luar jauh sebelum abad masehi. Bukti lainnya adalah ditemukannya beberapa data manik-manik yang pada masa  lampau juga merupakan barang yang diperdagangkan antar negara. Manik-manik merupakan produk budaya masa prasejarah, utamanya sejak masa bercocok tanam dan masa perundagian yang selevel dengan masa megalitik. (Balai Arkeologi Maluku, Perairan Maluku dalam Jalur Pelayaran dan jaringan Perdagangan Internasional Masa lampau dan Kini, Arkeomaluku.Com, 07 Mei 2010)
 
      (sumber : Foto Sam)

Sehingga boleh dikatakan pulau Gorom pada masa itu sudah mempunyai suatu peradaban yang maju dan sudah memiliki hubungan perdagangan dengan daerah luar seperti pulau Jawa bahkan dengan saudagar-saudagar Arab dan China. 
Sejak dahulu masyarakat pulau Gorom merupakan penganut agama Islam yang taat. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka pulau Gorom memiliki status dan peran yang penting bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Kuatnya relasi antara masyarakat dengan ajaran Islam yang dianutnya maka sangatlah sulit untuk ditaklukkan oleh pendatang-pendatang yang membawa simbol/ajaran agama yang lain (agama penjajah) maka dari dulu hingga sekarang daerah ini merupakan daerah dengan penduduk mayoritas islam.
Perpaduan antara ajaran agama dan adat istiadat yang begitu melekat mempengaruhi ciri dan karakter masyarakat setempat sehingga masyarakat di daerah ini dikenal masih kuat memegang rinsip-prinsip agama dan adat istiadat hingga saat ini. Ini terlihat dari kebiasaan sehari-hari yang selalu menghormati rajanya dan semua titah raja merupakan hukum yang harus ditaati oleh rakyatnya. Di pulau Gorom khususnya Kataloka bagi rakyatnya, kehormatan seorang raja merupakan harga diri dan sebuah harga mati yang sulit ditukar dengan apapun sehingga jika terjadi masalah yang menyangkut adat dan kehormatan raja rakyat selalu berada di garis depan dan akan membelanya sampai mati.
Dalam hubungan sosial budaya pada zaman dahulu Gorom pun memegang peranan yang sangat penting setidaknya kita dapat mengetahuinya dari literature sejarah  kerajaan Tanah Hitu. Dalam kisah kerajaan Tanah Hitu yang ditulis oleh imam Ridjali (tahun 1646) bahwa salah satu pendiri kerajaan (perdana) berasal dari Pulau Gorom bernama Kie Patti.

Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Salat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat). Mendirikan  negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu. (Wikipedia Indonesia, Kerajaan Tanah Hitu, wikipedia.org)

Kehadiran salah satu Tokoh/pemuka agama dari Pulau Gorom yang datang/ tiba di Tanah Hitu yang kemudian beliau diterima bahkan diangkat menjadi salah satu pemimpin atau pendiri kerajaan Tanah Hitu, ini menandakan bahwa pulau Gorom/penduduk pulau Gorom sudah memeluk agama islam jauh sebelum adanya kerajaan Tanah Hitu, bahkan mungkin juga sebelum adanya kerajaan-kerajaan besar lainnya di Maluku.

Eksistensi keberadaan gurun/goran (pulau Gorom) berlanjut hingga kesultanan tidore yaitu Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan alias Jou Barakati (1797 – 1805). Pada masa ini pun Pulau Gorom yang merupakan kerajaan islam (Raja Kataloka) berada di bawah kekuasaan kesultanan Tidore. Pada waktu Sultan Nuku berlayar mengunjungi pulau-pulau yang berada di dalam kekuasaannya, beliau memang pernah singgah di pulau Gorom dan menurut cerita beliau juga turut membantu masyarakat setempat bertempur melawan penjajah yang akhirnya dikenal dengan perang "Gesa Wowo".  Ditempat ini juga terdapat salah satu pulau yang diberi nama nukus alias nuku oleh Sultan Nuku sendiri. Karena nama lain sultan Nuku adalah Jou Barakati maka sebutan “Jou” ini menjadi kebiasaan masyarakat setempat hingga saat ini sehingga masyarakat Gorom pun sama halnya dengan kerajaan Raja Ampat Di Papua mereka juga memanggil raja dengan sebutan "JOU". Ini menjadi salah satu bukti pengaruh kesultanan Tidore di daerah seram timur khususnya di pulau Gorom dan sekitarnya.

Kesultanan Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797 – 1805), wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Tanah Papua.Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Menurut beberapa tulisan di berbagai situs internet, dituliskan bahwa kekuasaan Tidore sampai ke beberapa kepulauan di pasifik selatan, diantaranya; Mikronesia, Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono. (Anto Latif DOA, Menelusuri Jejak Sejarah Kekuasaan Kesultanan Tidore di Halmahera Selatan Dan Tanah Papua, Republika.Co.Id, 15 Desember 2008)

Ada beberapa bukti mengenai kehadiran Islam dan pengaruh jawa terhadap kehidupan sehari-hari yang dapat kita lihat hingga saat ini yaitu dengan adanya nama atau bahasa yang sama dengan bahasa Jawa yaitu "watu" yang berarti  batu, "muli/muleh yang artinya pulang, "manu’ ” (burung),ubung/obong (asap api), tolu/telu (tiga), hitu/pitu (tujuh), alu/wolu (delapan). Begitu juga ditemukannya beberapa peninggalan kuno seperti Nekara, guci dan keris yang dibawa oleh para saudagar Jawa atau Cina pada waktu itu dan juga ada masjid tua yang terdapat di tengah hutan yang menurut masyarakat setempat dipercaya sebagai masjid tertua atau pertama di pulau Gorom yaitu masjid Abes (Abas) dan masjid Giri Gadjah yang mungkin juga berhubungan dengan Patih Gadjah Mada.

Wilayah Majapahit yang hampir seluruhnya meliputi wilayah nusantara ini sangatlah dimungkinkan telah terjadi hubungan perdagangan antara masyarakat setempat  dengan saudagar-saudagar dari pulau jawa atau kerajaan-kekerajaan besar di pulau jawa termasuk Majapahit.  Dikatakan Patih Gadjah Mada Wafat pada tahun 1286 Saka/1364 M namun kerajaan Majapahit sendiri sudah ada antara tahun 1293-1527 yaitu pada masa perintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi yang kemudian diganti oleh Prabu Hayam Wuruk (1350-1389). Walaupun tidak ada bukti kuat yang mengatakan adanya hubungan langsung antara pulau Gorom dengan kerjaan Majapahit namun dari peranannya dalam dunia politik (kerajaan Tanah Hitu) pada masa itu serta hubungan-hubungan perdagangan dengan daerah-daerah lain di nusantara serta saudagar China dan arab yang dibuktikan dengan ditemukan adanya benda-benda purbakala yang mengindikasikan bahwa pengaruh-pengaruh sosial politik dan budaya serta perdagangan pada waktu itu sangat memegang peranan penting. Daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi turut mengganggu jalannya suatu pemerintahan dianggap perlu dan jika tidak ditaklukkan akan berdampak besar  terhadap kestabilan dan jalannya suatu pemerintahan. Maka dari itu wajarlah jika Seorang patih dari Majapahit ingin sekali menaklukkan daerah tersebut yang akhirnya nama “gurun”/goran (pulau Gorom) dicantumkan dalam sumpahnya.  Hanya saja sampai saat ini belum ada seorangpun yang meniliti atau mencari tahu hubungan dan pengaruh antara pulau Gorom dengan dunia Islam dalam sejarah Gadjah Mada (Majapahit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar